KALBAR, Rasionews.com – Yesus berkeliling ke seluruh Galilea: Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat 4:23). Juga, ketika Dia berada di atas bukit dan duduk, para murid datang dan Yesus mulai berbicara dan mengajar mereka (bdk.Mat 5:1-2). Para murid diajarkan agar mereka menjadi garam di tengah dunia yang hambar dan menjadi terang yang bercahaya dalam dunia yang gelap (bdk. Mat 5:13-15). Yesus mengajar kepada para murid bahwa Allah akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta (bdk. Mat 7:11). Kepada para murid, Dia mengajarkan hal berdoa (Bdk. Mat 6:5-8). Masih banyak yang Yesus ajarkan, agaknya dunia tidak dapat memuatnya (bdk. Yoh 21:25).
Spirit Para Murid
Tuhan mengatakan, “Belajarlah pada-Ku”( bdk. 11:29). Teladan hidup dan karya Yesus menjadi spirit bagi para murid. Bahwa mereka diajak untuk mengerti hakikat kemuridan mereka, yaitu menjadi murid yang taat, setia. Mereka diajak masuk ke dalam diri untuk menjernihkan dan mempertegas arti pemuridan mereka. Para murid mesti belajar bahwa Yesus berhasil menjalankan tugas perutusan dengan baik. Segala rintangan Dia hadapi. Dia sudah mengalami kesulitan. Dia mendapat beban dari pekerjaan yang harus diemban. Yesus bukan golongan tong kosong, nyaring bunyi, tapi aksi menjadi wujud cinta kasih. Apa yang Dia lakukan dan Dia alami mempunyai nilai yang sangat berharga. (bdk.Albertus Rianto, “Sabda Emas dalam Hidupku” hlm.51).
Selain belajar kepada Yesus Guru Sejati, mereka pun tidak akan Dia ditinggalkan. “Ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai akhir zaman” (Mat 28:20). Yesus tetap menyertai. Pada saat diutus para murid pasti mengalami tantangan dan cobaan. Mereka berhadapan dengan orang-orang yang digerogoti oleh pola hidup materialis, konsumeris, individualis, penuh nafsu dan egiosme. Mereka menjumpai orang-orang yang tidak lagi memakai akal sehat dan hati murni dalam memanfaatkan segala sesuatu yang mereka terima. Atau secara ekstrim dikatakan bahwa para murid berhadapan dengan orang-orang yang menjalani hidup dengan spirit tanpa Allah. Dalam arti bahwa mereka lupa diri bahwa hidupnya tidak datang begitu saja dari ruang hampa. Pasti Ada yang menciptakan segala sesuatu dari tiada menjadi ada (bdk. Yoh 1:3). Untuk itu, para murid harus punya semangat dan tenaga ekstra supaya membawa mereka menyadari diri, membuka hati, menjumpai Dia sebagai asal hidupnya. Tujuannya jelas agar mereka tidak menjadi orang yang mengembara di tanah tak bertuan alias tersesat. Supaya mereka tahu bahwa mereka adalah salah satu ciptaan sempurna dari segala ciptaan, segambar atau serupa dengan Allah (bdk.Kej. 1:26-27). Orang masa kini diajak untuk keluar dari zona spirit hidup tanpa Allah dan membuka hati untuk mendengarkan Sabda Yesus, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33).
Kualitas Sebagai Katekis
Kehadiran dan peranan guru agama sebagai katekis masa kini juga menerima “tugas khusus dan berat” dengan spirit yang sama sebagai seorang murid dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan kehidupan iman umat dalam Gereja. Untuk itu, modal dasar bagi guru agama dalam menjalankan perannya sebagai seorang katekis adalah:
Pertama, “tahu siapa kita dan apa tugas kita”. Kita hanya menjalankan apa yang menjadi kehendak Tuhan dan dengan setia, tekun dan taat mematuhi perintah-Nya. Kita harus siap ditarik dari zona nyaman hidup mereka. Misalnya, kita menjalankan tugas bukan karena perintah, bukan karena ikut aturan, bukan ingin berambisi meraih prestasi, bukan untuk mendapat hormat dan pujian, dan bahkan hidup dan tugas kita bukan demi mencapai kepuasan diri belaka. Akan tetapi, sejauhmana kita secara personal dalam tugas perutusan atau pengabdian tampak wajah Kristus yang lain: kita menjadi teladan bagi setiap orang-orang yang ingin dekat dengan Tuhan. Kita menjadi teladan bagi mereka yang ingin dia mengenal siapa Tuhan, dan ingin merasakan dia dicintai Tuhannya.
Kedua, “kekuatan dan kualitas diri kita”. Yesus tentu tidak bertanya kepada kita tentang definisi sampai tuntas tentang siapa diriNya. Dia tidak menguji kedalaman pengetahuan kognitif kita – kita seperti menjadi “orang yang serba tahu atau tahu segalanya”. Akan tetapi, kita dengan hati terbuka untuk masuk dalam proses edukatif dan formatif terus-merenus dari Sang Guru. Kita tidak pernah “merasa diri cukup” untuk membangun diri dan meningkatkan kualitas pengabdian sebagai seorang seorang abdi. Kita diajak untuk menjadi orang yang baik, peka, siap sedia, membuka diri, memiliki hati untuk mengabdi tanpa kenal lelah.
Ketiga, “menjadi dewasa dalam iman”. Dengan menjadi seorang beriman kristiani yang dewasa, dengan sendirinya kita mampu mewujudkan dan menjalankan tugas pokok kita sebagaimana diamanatkan oleh Gereja, yaitu mampu mengusahakan katekese bagi umat kristiani lewat pelajaran agama, lewat penghayatan hidup berimannya, serta bisa membagi pengalaman atau kesaksian hidup sebagai orang kristiani (bdk.KHK 773-870).
(Penulis : Veronika Erom, S.Ag, Guru Agama Katolik pada SMA Negeri 2 Putussibau)