Jakarta, ll RasioNews.com ll Sabtu
22 Nov 2025
Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Prof. Binsar Gultom, menyoroti dua pasal krusial dalam KUHAP baru seperti penambahan alat bukti “pengamatan hakim” dan ketentuan mengenai “penyitaan”.
Saat dihubungi Ketua Forum Media MA-RI, Prof. Binsar menyatakan tidak sependapat dengan dimasukkannya “pengamatan hakim” sebagai alat bukti baru dalam Pasal 235 ayat (1) huruf (g) KUHAP baru
Ia menilai konsep tersebut problematis karena lahir dari kategori alat bukti “petunjuk” yang dihapus dalam regulasi baru.
“Alat bukti ‘petunjuk’ (yang dihilangkan) penting dimasukkan kembali sebagai alat bukti, karena ‘petunjuk’ itu justru merupakan bagian dari ‘pengamatan hakim’,” kata Binsar Pengadil Kopi Maut Sianida.
Dosen Universitas Sumatera Utara (USU) Medan itu menilai, jika pengamatan hakim sebagai alat bukti berdiri sendiri dapat menimbulkan kekeliruan serius dalam penegakan hukum.
“pengamatan hakim” dilarang keras dijadikan sebagai alat bukti, larena pengamatan hakim tidak sama dengan putusan hakim yang dapat dipakai sebagai bukti dalam perkara lain, tegasnya secara kritis.
Menurut Prof. Binsar, dalam sistem negatief wettelijk bewijsstheorie, keyakinan hakim tidak muncul tiba-tiba, tetapi dibangun melalui rangkaian alat bukti yang saling melengkapi seoerti: keterangan saksi, ahli, petunjuk, surat, barang bukti elektronik, serta keterangan terdakwa.
“Dari pengamatan hakim terhadap rangkaian alat-alat bukti itu muncul keyakinan apakah terdakwa pelakunya,” kata nya pedas.
Aturan Penyitaan Berpotensi Langgar Praduga Tak Bersalah
Prof. Binsar juga mengkritik Pasal 131 ayat (1) KUHAP baru, yang memperbolehkan benda sitaan yang “lekas rusak” dimusnahkan atau dilelang oleh penyidik atau penuntut umum.
Menurutnya, aturan tersebut bertentangan dengan asas presumption of innocence, sekaligus kontradiksi dengan Pasal 135 setelah putusan pengadilan inkrah. Sebab jika barang sitaan sudah dilelang atau dimusnahkan sementara terdakwa tidak terbukti bersalah, apakah harus ada gugatan perdata atau praperadilan?” ujar Prof. Binsar mempertanyakan.
Prof. Binsar yang juga pengajar di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta itu pun meminta Pemerintah dan DPR segera mengisi kekosongan hukum dan memastikan aturan dalam KUHAP baru supaya selaras dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan, baik untuk perkara pidana umum maupun pidana khusus, termasuk kasus Pelanggaran HAM berat.
Ia mengingatkan supaya tidak terjadi polemik di kemudian hari yang berujung pada uji materi di Mahkamah Konstitusi, seperti yang menimpa beberapa pasal dalam KUHP baru, yang sampai saat ini Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati belum digodok pemerintah dan DPR sesuai amanat pada pasal 102 KUHP Baru, padahal Regulasi ini akan berlaku pada tanggal 2 Janyari 2026.
“Karena itu jangan sampai setelah disahkan KUHAP baru ini, justru muncul perdebatan kusir yang berujung judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” kata Binsar, yang pernah mengadili kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur dan Tanjung Priok.
Prof. Binsar juga tak sependapat KUHAP baru ini dipaksakan pengesahannya oleh DPR hanya semata-mata karena KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026, ujarnya tegas.
Penulis : Prof Binsar Gultom




