Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan kekuasaan harus diraih dengan proses pemilihan umum (pemilu) yang bersih tanpa ada mobilisasi atau pengerahan alat-alat kekuasaan negara. Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan masyarakat khawatir dengan isu netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Pemilu 2024.
“Kekuasaan itu sesuatu yang mulia, karena itu harus diraih lewat cara-cara yang bersih. Kalau sebuah proses itu kotor sudah pasti output (hasilnya) kotor,” ujar Jeirry dalam diskusi bertajuk ‘Jalan Sesat Meraih Kekuasaan’ yang diselenggarakan Komunitas Pemilu Bersih, di Jakarta, Minggu, 14 Januari 2024. Jeirry mengatakan pemerhati pemilu dan masyarakat sipil ingin mengingatkan semua pihak, termasuk pemerintah, peserta pemilu, dan tim kampanye para pasangan calon untuk mengedepankan etika moral. Sekaligus, menerapkan prinsip demokrasi dalam menjalankan peran pada tahapan pemilu yang tersisa.
“Kita berharap pemerintah mendengar, presiden mendengar, peserta pemilu mendengar untuk tidak melaksanakan yang seperti ini lagi dalam pelaksanaan pemilu satu bulan menjelang hari H. Mobilisasi alat-alat negara terjadi di lapangan,” ucap Jeirry.
Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai isu netralitas sama bahayanya dengan hoaks dan politik identitas seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Ia juga menyoroti fenomena saling lapor, intimidasi terhadap relawan serta ancaman terhadap calon presiden tertentu.
“Itu bisa berimplikasi pada perasaan intimidasi dan mengarah pada pemilu yang tidak jurdil (jujur dan adil). Hentikan lapor-melaporkan dan ancam-mengancam,” tegas Ray.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Sidratahta Mukhtar mengatakan pada Pemilu 2014 dan 2019 yang muncul adalah politik identitas, hoaks, dan penyakit demokrasi yang beredar di masyarakat. Tetapi, menurut dia, penyakit demokrasi seperti masalah netralitas aparatur negara saat ini datang dari penguasa. Menurut saya penyakit ini sekarang datangnya dari penguasa. Ini yang jadi entry point untuk melakukan pengawasan dan peranan lembaga yang punya power,” tutur Ray.
Ia mengingatkan birokrasi adalah ujung tombak dari penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat, termasuk ASN/TNI/Polri, diimbau melakukan pengawasan, serta memastikan pemilu jauh dari tekanan.
“Sehingga masyarakat bisa memilih secara dewasa dan otonom” kata Ray.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyebut pernyataan soal netralitas memang kerap dilontarkan presiden atau TNI/Polri. Tetapi, menurut dia, harus ada pembuktiannya dari segi kebijakan. Kalau TNI/Polri berani bikin whistleblower, bikin sistemnya supaya kalau ASN, misal Satpol PP, pegawai mana melakukan kecurangan bisa langsung diadukan tapi secara aman berani enggak kayak gitu. Kalau enggak berani menurut saya, memang enggak ada jaminan netralitas itu” kata Bivitri. Fnd.